Aswari Riva’i Hadirkan Kebijakan Pro Kesejahteraan
Aswari Riva’i Hadirkan Kebijakan Pro Kesejahteraan. Data kemiskinan di Sumatera Selatan memang mengkhawatirkan. “Karena
itu, potret kemiskinan kota dan pedesaan yang ada haruslah menggerakan
pemimpin untuk menghadirkan format kebijakannya yang menyentuh dua
wilayah itu”” ungkap Bupati Lahat Aswari Rifa`i kepada awak media di
pendoponya.
Ketika menyisir masyarakat perkotaan – lanjut Aswari sambil menjelaskan konsep atau pendekatannya – format kebijakan yang perlu dibangun lebih lanjut adalah bahwa ia harus menyentuh perdagangan atau kepentingan perdagangan, pengembangan layanan multi-jenis dan sejumlah kegiatan ekonomi lainnya. Dalam hal ini, lembaga birokrasi harus mendukung kegiatan ekonomi mereka, tidak mempersulit apalagi membatasi mereka. Dengan demikian, perlu dan harus ada pemahaman, bahkan mental yang sejalan dengan permintaan untuk ekonomi riil dan sektor jasa.
“Perlu ditekankan, bagi lembaga birokrasi, sikap positif-responsif itu merupakan cermin nyata budaya melayani, bukan minta dilayani. Rakyat sang raja dan aparatur pemerintah sang pelayan, tak boleh dibalik posisinya. Di sinilah urrgensinya perubahan mindsett aparatur pemerintah atas paradigma lama, yang dulu lebih memposisikan diri sebagai pihak yang harus dilayani”, kata Aswari sambil menjelaskan, satu hal yang perlu digarisbawahi, optimalisasi dan maksimalisasi sikap layanan akan berdampak pada potensi perkembangan ekonomi para pelaku ekonomi itu. Dan ini – pada akhirnya – akan menumbuhkan volume pendapatan daerah dari sektor pajak.
Oleh karena itu, lanjut Aswari, kandidat utama untuk memimpin Sumatera Selatan, tugas pemerintah adalah bagaimana membangun format kebijakan yang dapat mendorong peningkatan jumlah pelaku ekonomi, sehingga ia atau mereka merasakan proses dan upaya untuk mencapai ekonomi. kue.
Setidaknya, pertumbuhan jumlah aktor ekonomi – secara korelatif – akan menuntut angkatan kerja. Jika ada semakin banyak pelaku ekonomi hingga 1000 orang dan masing-masing membutuhkan sekitar 5 pekerja, maka – secara matematis – akan melihat jumlah penyerapan (5.000 pekerja).
“Angka asumtif itu – dari sisi pelaku ekonomi atau pekerja – masih berpotensi naik jumlahnya. Karena itu menjadi strategis pula pemerintah daerah (Pemda) menggenjot program kewirausahaan, apakah pendekatan per kecamatan, atau per kelurahan. Kebijakan ini menjadi strategis karena jika misi pembebasan kemiskinan hanya mengandalkan sektor formal, katakanlah menjadi pegawai negeri, maka jumlahnya sangat terbatas, tidak sesuai dengan tingkat permintaan obyektif angkatan kerja. Juga, tidak sesuai tuntutan perbaikan ekonomi (kesejahteraan). Sekali lagi, Pemda Provinsi Sumsel harus mampu hadirkan kebijakan yang pro kesejahteraan sekaligus mengawalnya”, kata Aswari.
Yang perlu kami perhatikan lebih lanjut, lanjut Aswari, pertumbuhan jumlah pelaku ekonomi dan penyerapan tenaga kerja cukup untuk menggambarkan, di satu sisi, pelaku ekonomi secara langsung mendapatkan peningkatan pendapatan. Di sisi lain – sebagai pekerja – juga mendapatkan penghasilan tetap. Di situlah protes masyarakat urban memiliki potensi untuk dikoreksi (dikurangi) catatan jumlah kemiskinan.
Sekarang, kita juga perlu menyoroti tingkat kemiskinan pedesaan. Sekali lagi, format kebijakan harus sesuai. Yang perlu dilihat adalah karakter ekonomi masyarakat pedesaan. Dengan karakter pedesaan yang melekat pada sifat pertanian dan perkebunan, maka pola kebijakan harus selaras dengan dunia pertanian dan perkebunan.
Di antara kebijakan yang secara langsung menyentuh kepentingan mereka, di antaranya, peningkatan infrastruktur, jalan terkait sebagai akses cepat ke mobilisasi barang dari pusat produksi ke daerah pasar. Tidak kalah pentingnya adalah infrastruktur yang mendukung proses produksi tanaman. Dengan demikian, perbaikan irigasi (primer, sekunder atau tersier) harus mendapat perhatian ekstra.
Ketika menyisir masyarakat perkotaan – lanjut Aswari sambil menjelaskan konsep atau pendekatannya – format kebijakan yang perlu dibangun lebih lanjut adalah bahwa ia harus menyentuh perdagangan atau kepentingan perdagangan, pengembangan layanan multi-jenis dan sejumlah kegiatan ekonomi lainnya. Dalam hal ini, lembaga birokrasi harus mendukung kegiatan ekonomi mereka, tidak mempersulit apalagi membatasi mereka. Dengan demikian, perlu dan harus ada pemahaman, bahkan mental yang sejalan dengan permintaan untuk ekonomi riil dan sektor jasa.
“Perlu ditekankan, bagi lembaga birokrasi, sikap positif-responsif itu merupakan cermin nyata budaya melayani, bukan minta dilayani. Rakyat sang raja dan aparatur pemerintah sang pelayan, tak boleh dibalik posisinya. Di sinilah urrgensinya perubahan mindsett aparatur pemerintah atas paradigma lama, yang dulu lebih memposisikan diri sebagai pihak yang harus dilayani”, kata Aswari sambil menjelaskan, satu hal yang perlu digarisbawahi, optimalisasi dan maksimalisasi sikap layanan akan berdampak pada potensi perkembangan ekonomi para pelaku ekonomi itu. Dan ini – pada akhirnya – akan menumbuhkan volume pendapatan daerah dari sektor pajak.
Oleh karena itu, lanjut Aswari, kandidat utama untuk memimpin Sumatera Selatan, tugas pemerintah adalah bagaimana membangun format kebijakan yang dapat mendorong peningkatan jumlah pelaku ekonomi, sehingga ia atau mereka merasakan proses dan upaya untuk mencapai ekonomi. kue.
Setidaknya, pertumbuhan jumlah aktor ekonomi – secara korelatif – akan menuntut angkatan kerja. Jika ada semakin banyak pelaku ekonomi hingga 1000 orang dan masing-masing membutuhkan sekitar 5 pekerja, maka – secara matematis – akan melihat jumlah penyerapan (5.000 pekerja).
“Angka asumtif itu – dari sisi pelaku ekonomi atau pekerja – masih berpotensi naik jumlahnya. Karena itu menjadi strategis pula pemerintah daerah (Pemda) menggenjot program kewirausahaan, apakah pendekatan per kecamatan, atau per kelurahan. Kebijakan ini menjadi strategis karena jika misi pembebasan kemiskinan hanya mengandalkan sektor formal, katakanlah menjadi pegawai negeri, maka jumlahnya sangat terbatas, tidak sesuai dengan tingkat permintaan obyektif angkatan kerja. Juga, tidak sesuai tuntutan perbaikan ekonomi (kesejahteraan). Sekali lagi, Pemda Provinsi Sumsel harus mampu hadirkan kebijakan yang pro kesejahteraan sekaligus mengawalnya”, kata Aswari.
Yang perlu kami perhatikan lebih lanjut, lanjut Aswari, pertumbuhan jumlah pelaku ekonomi dan penyerapan tenaga kerja cukup untuk menggambarkan, di satu sisi, pelaku ekonomi secara langsung mendapatkan peningkatan pendapatan. Di sisi lain – sebagai pekerja – juga mendapatkan penghasilan tetap. Di situlah protes masyarakat urban memiliki potensi untuk dikoreksi (dikurangi) catatan jumlah kemiskinan.
Sekarang, kita juga perlu menyoroti tingkat kemiskinan pedesaan. Sekali lagi, format kebijakan harus sesuai. Yang perlu dilihat adalah karakter ekonomi masyarakat pedesaan. Dengan karakter pedesaan yang melekat pada sifat pertanian dan perkebunan, maka pola kebijakan harus selaras dengan dunia pertanian dan perkebunan.
Di antara kebijakan yang secara langsung menyentuh kepentingan mereka, di antaranya, peningkatan infrastruktur, jalan terkait sebagai akses cepat ke mobilisasi barang dari pusat produksi ke daerah pasar. Tidak kalah pentingnya adalah infrastruktur yang mendukung proses produksi tanaman. Dengan demikian, perbaikan irigasi (primer, sekunder atau tersier) harus mendapat perhatian ekstra.
Komentar
Posting Komentar